Mengubah Wajah Supervisi Akademik Melalui  Inovasi Rekaman Video Pembelajaran di SMP Negeri 1 Cilongok

Mengubah Wajah Supervisi Akademik Melalui Inovasi Rekaman Video Pembelajaran di SMP Negeri 1 Cilongok

Peningkatan mutu pendidikan tidak hanya bergantung pada kualitas kurikulum atau ketersediaan sarana prasarana, tetapi juga pada kekuatan ekosistem profesional di sekolah, terutama kemampuan guru dalam menyampaikan pembelajaran secara efektif. Di sinilah supervisi akademik memainkan peran sentral sebagai instrumen pengembangan profesi guru. Supervisi bukan sekadar alat kontrol, tetapi jembatan menuju praktik mengajar yang lebih baik, reflektif, dan bermakna. Namun, supervisi akademik konvensional selama ini menghadapi sejumlah tantangan yang tidak mudah diatasi.

Salah satu persoalan utama dari supervisi konvensional adalah unsur subjektivitas dalam penilaian. Pengamatan yang dilakukan secara langsung dalam waktu terbatas sering kali tidak mampu menangkap kompleksitas kegiatan pembelajaran secara utuh. Supervisor hanya melihat sebagian kecil dari praktik mengajar guru dan berpotensi memberikan umpan balik yang belum tentu menggambarkan keseluruhan proses. Hal ini membuat banyak guru merasa tidak nyaman, bahkan tertekan, ketika disupervisi. Supervisi yang semestinya menjadi ruang pengembangan justru menjadi momen yang ditakuti.

Menjawab tantangan tersebut, SMP Negeri 1 Cilongok menghadirkan sebuah inovasi sederhana namun berdampak besar: penggunaan rekaman video pembelajaran sebagai alat bantu dalam supervisi akademik. Langkah ini menjadi bagian dari upaya membangun budaya supervisi yang lebih adil, objektif, dan kolaboratif. Dengan merekam sesi pembelajaran, sekolah menciptakan ruang baru bagi guru dan supervisor untuk melakukan refleksi bersama, berbasis data autentik, bukan sekadar kesan sesaat.

Tujuan utama dari penggunaan rekaman video dalam supervisi akademik adalah untuk menyediakan dokumentasi nyata dari praktik mengajar di kelas. Alih-alih mengandalkan catatan pengamatan singkat, rekaman video menyajikan seluruh proses pembelajaran, mulai dari pembukaan hingga penutup. Ini menjadi bahan refleksi yang kaya, karena guru bisa menyaksikan kembali interaksi dengan siswa, strategi pembelajaran yang digunakan, hingga ekspresi dan bahasa tubuh mereka sendiri.

Video juga mendorong guru untuk melakukan refleksi diri secara objektif. Sering kali guru merasa yakin bahwa metode atau pendekatan yang mereka gunakan sudah tepat, namun ketika menyaksikan sendiri cuplikan pembelajaran, mereka menemukan hal-hal yang selama ini luput dari perhatian. Mungkin mereka terlalu sering berbicara sendiri, kurang memberi waktu kepada siswa untuk berpikir, atau mengabaikan siswa di sudut kelas yang tampak pasif. Semua ini menjadi pembelajaran yang otentik dan mendalam.

Selain itu, rekaman video memberikan data konkret yang sangat berguna bagi supervisor dalam memberikan umpan balik yang konstruktif. Supervisor tidak lagi memberikan penilaian berdasarkan pengamatan sesaat, tetapi berdasarkan bukti visual yang bisa dianalisis bersama. Ini menciptakan suasana dialog yang lebih setara. Guru tidak lagi menjadi “objek penilaian”, melainkan mitra dalam proses pengembangan. Umpan balik pun menjadi lebih tepat sasaran dan diterima dengan lebih terbuka.

Dampak lain yang signifikan adalah meningkatnya akuntabilitas dan profesionalisme guru. Dengan mengetahui bahwa proses pembelajaran mereka terdokumentasi dan akan menjadi bahan refleksi bersama, guru terdorong untuk mempersiapkan pembelajaran dengan lebih baik. Mereka mulai memikirkan strategi yang sesuai, mengelola kelas secara lebih efektif, dan menciptakan interaksi yang lebih bermakna dengan siswa. Mereka menyadari bahwa peran mereka tidak hanya mengajar, tetapi juga terus belajar dan berkembang.

Program penggunaan rekaman video dalam supervisi akademik di SMP Negeri 1 Cilongok mulai diimplementasikan pada Semester Genap Tahun Pelajaran 2024/2025. Setiap guru diminta untuk merekam minimal satu sesi pembelajaran yang dirasa representatif. Rekaman dilakukan secara mandiri, menggunakan perangkat sederhana seperti kamera ponsel, handycam, atau tripod yang tersedia di sekolah. Guru diberikan kebebasan dalam memilih sesi dan mata pelajaran, dengan tujuan menciptakan kenyamanan dan keaslian suasana kelas.

Setelah proses perekaman, dilakukan sesi coaching dan refleksi bersama antara guru dan supervisor. Dalam sesi ini, video diputar dan dianalisis bersama. Guru diminta mengungkapkan bagian mana yang menurut mereka berhasil, serta bagian mana yang masih perlu diperbaiki. Supervisor kemudian memberikan penguatan, masukan, dan pertanyaan-pertanyaan reflektif untuk memperdalam pemahaman. Suasana yang dibangun adalah suasana belajar bersama, bukan menghakimi. Ini yang membedakan pendekatan ini dari supervisi konvensional.

Hasilnya, banyak guru yang mengungkapkan bahwa mereka merasa lebih dihargai secara profesional. Supervisi tidak lagi dianggap sebagai beban, melainkan sebagai kesempatan untuk tumbuh. Mereka merasa suara mereka didengar, pendapat mereka dihargai, dan perkembangan mereka didukung secara nyata. Kesadaran terhadap praktik mengajar pun meningkat. Beberapa guru bahkan secara sukarela merekam lebih dari satu sesi karena merasakan manfaatnya bagi refleksi pribadi.

Observasi pembelajaran pun menjadi lebih komprehensif. Supervisor bisa memutar ulang bagian-bagian tertentu dari video, memperhatikan detail yang mungkin terlewat, dan membuat catatan yang lebih akurat. Ini menjadikan proses supervisi lebih berbasis bukti, jauh dari kesan subjektif atau opini pribadi. Pendekatan ini juga membantu kepala sekolah dalam membangun budaya mutu yang berkelanjutan di sekolah.

Namun tentu saja, inovasi ini tidak lepas dari kendala. Salah satu tantangan utama adalah keterbatasan perangkat. Tidak semua guru memiliki alat perekam yang memadai. Ada pula guru yang mengalami kendala teknis saat merekam, seperti suara yang tidak jelas, sudut pengambilan gambar yang kurang tepat, atau gangguan teknis lainnya. Kekhawatiran lain yang muncul adalah rasa cemas guru terhadap kemungkinan penilaian yang bersifat menghukum, terutama jika video mereka diputar di forum terbuka.

Untuk mengatasi hal ini, sekolah memberikan pelatihan teknis sederhana kepada guru, mulai dari cara merekam yang baik, cara menyimpan file, hingga etika penggunaan video dalam konteks pengembangan profesi. Selain itu, sekolah juga berkomitmen menyediakan perangkat tambahan seperti tripod dan kamera yang bisa dipinjam. Kepala sekolah secara tegas menyampaikan bahwa video tidak digunakan untuk penilaian atau hukuman, melainkan murni sebagai sarana refleksi dan pengembangan diri.

Dengan pendekatan yang suportif ini, kekhawatiran guru perlahan mencair. Mereka mulai memahami bahwa video bukan ancaman, tetapi cermin pembelajaran. Bahkan, muncul inisiatif dari beberapa guru untuk membuat bank video pembelajaran yang bisa dijadikan bahan belajar bersama dalam forum MGMP sekolah. Ini menunjukkan bahwa perubahan budaya supervisi sedang berjalan: dari budaya menilai menjadi budaya belajar.

Apa yang dilakukan SMP Negeri 1 Cilongok adalah contoh konkret bahwa supervisi akademik bisa diubah menjadi proses yang humanis, reflektif, dan kolaboratif. Inovasi sederhana berupa rekaman video membuka ruang diskusi yang lebih sehat dan bermakna. Guru tidak lagi merasa sendirian dalam perjuangan meningkatkan kualitas pembelajaran. Mereka memiliki mitra yang berjalan bersama mereka—supervisor yang tidak menilai dari atas, tetapi duduk sejajar untuk menonton, merenung, dan belajar bersama.

Ke depan, supervisi berbasis video memiliki potensi besar untuk menjadi bagian dari sistem pengembangan profesi guru secara nasional. Dengan sedikit dukungan kebijakan, pelatihan, dan infrastruktur, pendekatan ini bisa diterapkan secara luas. Terutama di era digital ini, di mana teknologi sudah menjadi bagian dari keseharian sekolah, pendekatan berbasis video bisa menjadi alat yang efektif, murah, dan mendalam.

Refleksi terbesar dari praktik ini adalah bahwa supervisi bukan tentang mengawasi, tetapi tentang menemani perjalanan seorang guru menuju versi terbaik dirinya. Ketika supervisi dilakukan dengan empati, data konkret, dan semangat kolaborasi, maka hasilnya bukan hanya peningkatan mutu pembelajaran, tetapi juga tumbuhnya rasa percaya diri, harga diri, dan profesionalisme guru.

Inilah wajah baru supervisi akademik yang ingin dibangun: ruang belajar bersama, bukan ruang peradilan. Ruang yang menghadirkan harapan, bukan ketakutan. Ruang di mana guru dan kepala sekolah saling memperkuat, demi masa depan pendidikan yang lebih manusiawi dan bermutu. Sebab sejatinya, sekolah adalah tempat tumbuh bersama—bukan hanya bagi siswa, tetapi juga bagi para pendidik di dalamnya.

Penulis : Trisnatun,M.Pd, Kepala SMP Negeri 1 Cilongok, Kabupaten Banyumas

Related Posts

Komentar