“Saya Boleh, Anda Tidak Boleh” : Saatnya Meninggalkan Budaya Paternalistik di Sekolah

“Saya Boleh, Anda Tidak Boleh” : Saatnya Meninggalkan Budaya Paternalistik di Sekolah

Saat Gagasan Terkubur Diam-diam

Pernahkah Anda mendengar atau bahkan mengalami momen seperti ini di lingkungan sekolah:

 “Pak, bagaimana kalau ruang baca diubah jadi taman literasi?”

“Eh, kamu jangan aneh-aneh dulu. Ini sekolah, bukan kafe!”

 Atau,

 “Bu, bagaimana kalau kita bikin podcast pelajaran buat anak-anak?”

“Sudahlah, jangan cari-cari perhatian. Fokus kerja saja.”

 Ungkapan-ungkapan semacam ini tampak sederhana. Tapi jika dibiarkan, ia bisa menjadi simbol dari budaya yang lebih besar—budaya paternalistik. Sebuah pola kepemimpinan yang diam-diam mengekang kreativitas dan mematikan ruang partisipasi.

Budaya Paternalistik: Ketika Atasan Selalu Benar

Dalam banyak institusi pendidikan, terutama di tingkat sekolah, masih kerap kita jumpai pola relasi yang kaku dan hierarkis. Atasan adalah “penentu tunggal”, sementara ide dari bawah dianggap gangguan—bahkan ancaman.

Kalimat tak tertulis seperti “Saya boleh, Anda tidak boleh” menjadi semacam kredo tersembunyi. Kepala sekolah boleh mengusulkan proyek, guru jangan coba-coba. Atasan bisa bikin video promosi, guru jangan berkreasi karena nanti dianggap “pencitraan pribadi”.

Padahal, sekolah adalah tempat belajar dan tumbuh bersama. Tapi bagaimana mungkin bisa tumbuh jika ruang dialog tidak dibuka?

Ketika Inovasi Dianggap Ancaman

Tidak sedikit guru atau tenaga kependidikan yang merasa patah semangat ketika idenya tak direspons dengan terbuka. Misalnya, seorang guru seni mencoba membuat mural di tembok sekolah, tapi malah ditegur karena “tidak minta izin”.

Seorang staf TU ingin membuat sistem absensi digital sederhana, tapi dianggap mencampuri urusan pimpinan.

Alih-alih diapresiasi, inisiatif itu justru dianggap melanggar aturan tak tertulis: “Jangan lebih kreatif dari bosmu.”

Lama-kelamaan, yang tumbuh bukan kreativitas, tapi ketakutan. Bukan semangat kolaborasi, tapi budaya saling menunggu perintah.

Dampaknya Nyata: Sekolah Jadi Tempat yang Sepi Gagasan

Sekolah bukan hanya bangunan fisik. Ia adalah ruang hidup tempat anak-anak, guru, dan warga sekolah lainnya bertumbuh. Jika budaya paternalistik tetap dipelihara, yang lahir adalah stagnasi: program yang itu-itu saja, ide yang tidak berkembang, dan suasana kerja yang membosankan.

Sementara itu, tantangan pendidikan semakin kompleks. Dunia bergerak cepat, teknologi berubah setiap saat. Kreativitas bukan lagi pilihan, tapi keharusan.

Menggeser Peran: Dari Bos Menjadi Fasilitator

Sudah waktunya kita bergerak ke arah baru. Kepala sekolah bukan lagi pusat segalanya, tapi pemantik ide yang memberi ruang bagi tumbuhnya kreativitas. Kepemimpinan yang baik bukan yang memerintah terus-menerus, tapi yang bisa memfasilitasi dan membuka pintu dialog.

Bayangkan jika setiap ide dari guru atau siswa mendapat tempat untuk diuji, didiskusikan, bahkan diwujudkan bersama. Sekolah bukan hanya tempat belajar formal, tapi juga ruang kolaborasi.

Beberapa sekolah di Banyumas sudah mulai mencoba: musyawarah program yang terbuka, penghargaan atas inisiatif guru, dan keterlibatan siswa dalam desain kegiatan. Hasilnya? Atmosfer sekolah lebih hidup, ide-ide lebih beragam, dan semangat gotong royong terasa nyata.

Ayo Bangun Sekolah yang Membebaskan

Budaya “Saya boleh, Anda tidak boleh” seharusnya menjadi cerita masa lalu. Di dunia pendidikan, semua warga sekolah—guru, siswa, staf TU, hingga penjaga sekolah—punya hak yang sama untuk menyumbang gagasan. Setiap ide pantas untuk dihargai, bukan dicurigai.

Sekolah yang hebat bukanlah sekolah dengan satu orang paling berkuasa, tapi sekolah yang memberi ruang bagi semua orang untuk tumbuh.

Mari kita ubah cara pandang. Mari kita bangun sekolah dengan hati: sekolah yang memberi, bukan mengekang; yang mendengar, bukan membungkam.

Karena dalam pendidikan, setiap suara berarti.

 Catatan Penulis

Tulisan ini adalah undangan reflektif bagi para pendidik dan pemangku kebijakan pendidikan di level manapun. Mari jujur bertanya: apakah kita masih memelihara pola “asal pimpinan senang”? Ataukah kita berani menjadi fasilitator perubahan, walau sederhana?

 

Referensi Pilihan

Freire, Paulo. Pendidikan Kaum Tertindas. LP3ES

Mulder, Niels. Mistisisme Jawa: Ideologi dalam Kebudayaan Jawa. LKiS

Dwiyanto, Agus. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik. Gadjah Mada University Press

Sergiovanni, Thomas. Leadership for the Schoolhouse. Jossey-Bass

 

*// Oleh: Trisnatun Abuyafi Ranaatmaja (KS SMP Negeri 1 Cilongok, Banyumas, Jawa Tengah)

 

Related Posts

Komentar