
Gerakan Literasi: Dari Launching Buku hingga Kesadaran Kolektif, Oleh : Trisnatun Abuyafi Ranaatmaja
Di sebuah percakapan sederhana sore hari, muncul sebuah tanya yang tampak sepele, tetapi menyimpan kedalaman makna: “Apakah launching buku bisa disebut sebagai gerakan literasi yang sukses?”
Pertanyaan itu muncul dari keresahan banyak guru—para penulis sunyi yang mencoba menebar benih literasi di tanah kering minat baca. Launching buku memang tampak megah di permukaan: spanduk terbentang, naskah dibingkai indah, dan beberapa eksemplar dicetak untuk dibagikan. Namun, apakah kegiatan semacam itu cukup untuk disebut “gerakan literasi”?
Launching Buku: Simbol atau Substansi?
Secara definisi, launching buku adalah peristiwa memperkenalkan karya tulis baru kepada publik. Acara ini bisa menjadi ruang bagi penulis untuk berbagi gagasan, bertemu pembaca, dan menandai hadirnya sebuah karya di tengah masyarakat.
Namun, ketika buku yang diluncurkan hanya dicetak lima atau enam eksemplar, persoalan menjadi menarik. Apakah itu masih dapat dikatakan gerakan literasi? Secara simbolik, iya—karena ia menunjukkan adanya semangat berkarya dan berbagi ilmu. Tetapi secara substansial, dampaknya masih terbatas.
Gerakan literasi yang sejati tidak hanya berhenti pada penerbitan buku. Ia memerlukan ekosistem: pembaca yang tumbuh, ruang-ruang diskusi yang hidup, dan keberlanjutan kegiatan yang memupuk minat baca dan tulis. Literasi tidak bisa berhenti di panggung launching; ia harus hidup di ruang kelas, di rumah, di antara percakapan guru dan murid, bahkan dalam kebijakan pendidikan yang berpihak pada kecerdasan budaya.
Apresiasi: Membeli Buku Guru dengan Kesadaran
Lalu, bagaimana dengan tindakan membeli buku karya tulis guru? Apakah itu bentuk dukungan terhadap gerakan literasi?
Jawabannya: tentu saja, ya. Membeli buku karya guru secara sukarela adalah bentuk nyata apresiasi terhadap kerja intelektual. Di balik selembar halaman, ada jam-jam panjang perenungan, riset, dan dedikasi. Ketika seseorang membeli buku bukan karena belas kasihan, tetapi karena ingin belajar dari isinya, di situlah literasi hidup.
Namun sayangnya, masih banyak masyarakat yang enggan membeli buku dengan alasan “mahal”. Padahal, harga buku seringkali tak sebanding dengan nilai pengetahuan yang dikandungnya. Jika masyarakat masih menganggap buku sebagai barang sekunder, bukan kebutuhan, maka gerakan literasi akan selalu tersendat.
Literasi bukan soal harga, melainkan soal nilai. Buku adalah investasi jangka panjang bagi kecerdasan. Membeli dan membaca buku berarti ikut menyalakan lilin kecil di tengah gelapnya kebodohan.
Peran Organisasi Pendidikan: Dari Seremonial ke Gerakan Nyata
Gerakan literasi tidak mungkin bertumbuh hanya dengan idealisme individu. Diperlukan dukungan kelembagaan yang kuat. Di sinilah organisasi seperti PGRI, MKKS, dan MGMP setiap mata pelajaran, memainkan peran strategis.
Mereka bisa:
Mengembangkan program literasi sekolah yang terencana, bukan sekadar seremonial.
Mengadakan pelatihan guru penulis agar setiap pendidik memiliki kemampuan menulis reflektif, bukan hanya administratif.
Membentuk komunitas baca dan tulis yang aktif, sehingga ide-ide tidak mati di ruang rapat.
Bekerja sama dengan komite sekolah dan perpustakaan daerah untuk memperluas akses buku.
Melibatkan orang tua agar budaya membaca menjadi kebiasaan keluarga, bukan sekadar tugas sekolah.
Dengan langkah-langkah itu, literasi tidak lagi berhenti di launching buku, melainkan bergerak menjadi gerakan sosial yang hidup dan menyentuh banyak lapisan masyarakat.
Menumbuhkan Kesadaran Kolektif
Gerakan literasi pada akhirnya bukan sekadar kegiatan, melainkan kesadaran. Ia lahir dari pemahaman bahwa menulis adalah bentuk berpikir, membaca adalah cara berdialog, dan berbagi adalah jalan menuju kemajuan bersama.
Guru yang menulis sesungguhnya sedang menyalakan api kesadaran—bahwa ilmu tidak boleh berhenti di kepala, tetapi harus mengalir dalam kalimat dan karya.
Masyarakat yang membaca dan menghargai karya guru, sesungguhnya sedang menjaga peradaban agar tetap berpihak pada pengetahuan.
Maka, meskipun launching buku antologi puisi hanya menghasilkan lima eksemplar, nilainya bisa sangat besar—jika ia disertai semangat untuk berlanjut, menginspirasi, dan menggerakkan.
Karena sejatinya, gerakan literasi tidak diukur dari banyaknya buku yang dicetak, melainkan dari seberapa jauh ia menyentuh kesadaran dan mengubah perilaku manusia.
Ajibarang, 14 Oktober 2025
✍️ Trisnatun Abuyafi Ranaatmaja
Pegiat Literasi & Guru IPA SMP N 2 Ajibarang