
Menghidupkan Literasi di Grup WA Guru
Saat dunia pendidikan gegap gempita oleh isu serba digital, grup WhatsApp (WA) guru menjadi salah satu ruang komunikasi yang aktif. Jika ada yang memperhatikan secara seksama, interaksi komunikasi dan tingkat aktivitas grup sangat khas. Dinamika diskusi grup WA guru, bergantung pada siapa dan apa jenis informasi pemantik yang dibagikan.
Sebagai contoh hasil pengamatan, ada kenaikan dinamika diskusi grup WA guru ketika informasi yang masuk adalah kabar baik. Kabar baik yang selalu di tunggu para guru adalah cairnya Tunjangan Profesi Guru (TPG). Pada momen informasi TPG masuk rekening, grup WA guru mendadak jadi ramai. Notifikasi grup muncul berderet, komentar anggota grup berhamburan, dan emotikon berseliweran saling mendahului.
Sebaliknya, kondisi grup sangat beda ketika yang dikirim adalah informasi kedinasan, tugas yang harus dikerjakan, atau bahkan artikel Pendid ikan. Respon terhadap berita jenis ini merubah suasana grup, mendadak menjadi sunyi senyap. Hanya satu dua orang yang membalas, seringkali dengan gambar jempol, atau malah tidak ada tanggapan sama sekali.
Tulisan panjang tentang refleksi pendidikan, solusi persoalan, atau ide perbaikan sekolah nyaris tidak mendapat tempat dan perhatian. Seolah tidak ada anggota grup yang membaca atau hanya membaca sekilas dan tidak peduli apa isinya.
Keadaan grup WA guru yang seperti ini menimbulkan pertanyaan yang cukup menarik untuk di cari jawabannya. Mengapa grup WA yang anggotanya para pendidik (guru) kurang responsif saat informasi pendidikan hadir? Apakah kondisi grup WA merupakan salahsatu indikasi rendahnya literasi guru?
Data dan Fakta Tingkat Literasi
Fenomena grup WA guru yang diamati tersebut sejalan dengan hasil berbagai survei dan penelitian tentang minat baca masyarakat Indonesia termasuk guru dan siswa. Fakta bahwa minat baca Masyarakat kita masih rendah tak bisa dipungkiri. UNESCO (2012) menyebutkan minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001, artinya hanya ada 1 dari 1.000 orang yang benar-benar gemar membaca. PISA (2019) menempatkan Indonesia di peringkat 62 dari 70 negara dalam kategori literasi membaca. Siswa Indonesia rata-rata hanya membaca 0,09 buku per tahun, menurut data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Survei guru SD menunjukkan hanya 12% guru merasa ahli dalam literasi membaca, dan sekitar 80% guru menilai minat baca siswa berada pada tingkat "sedang" atau bahkan "kurang". Statistik BPS tahun 2024 mencatat Indeks Tingkat Gemar Membaca (TGM) Indonesia mencapai 72,4 (kategori sedang), naik dari tahun sebelumnya namun belum menyentuh kategori tinggi. Data tersebut mengukuhkan bahwa tradisi bertutur dan bercerita masyarakat kita lebih nyata, jauh dari budaya membaca dan menulis saat ini.
Data-data tersebut mecerminkan rendahnya tingkat literasi di komunitas yang seharusnya lebih melek literasi. Respon yang sunyi terhadap artikel atau diskusi mendalam di grup WA guru bukan semata-mata soal tidak sempat membaca. Respon tersebut lebih menggambarkan budaya literasi memang belum tumbuh baik di kalangan pendidik. Kondisi ini adalah sebuah ironi sekaligus tantangan bagi komunitas guru. Sebenarnya tantangan ini terukur dan dapat dilalui bersama sehingga level literasi guru dapat meningkat. Di lapangan kadang muncul pembenaran bahwa guru tak sempat membaca dengan alasan yang sekilas bisa diterima logika. Salahsatu alasan yang melatarbelakangi rendahnya minat baca guru kaeran sudah sibuk mengajar, sibuk membuat administrasi yang masih juga banyak : apa pun kurikulumnya.
Guru berpikir Praktis Pragmatis, Bukan Idealis
Grup WA guru dengan dinamika diskusi seperti di atas adalah gambaran sebuah realitas psikis dan realitas sosial kehidupan guru. Guru aktor penting dunia pendidkan, seperti apa diskusi di grup WA guru kira-kira demikian pula pikiran dunia pendidikan kita. Para pendidik (guru profesional, penerima TPG) antusias terhadap hal-hal praktis dan kurang responsif terhadap hal yang idealis. Pendidikan kita pun mengarah ke hal-hal praktis pragmatis semakin menjauh dari dunia idealis.
Guru sangat bahagia dan antusias menerima informasi yang bersifat praktis langsung berdampak secara ekonomi ( TPG). Gurukurang bergairah untuk berdiskusi atau menyelami isu-isu strategis yang berkaitan dengan kualitas pendidikan. Kondisi ini terindikasi dari dinamika diskusi dalam beberapa grup WA guru; grup WA di sekolah, grup MGMP, grup alumni para guru bahkan grup yang skalanya lebih besar.
Kejadian nyata seperti ini tidak serta-merta salah dan bukan sepenuhnya suatu kekeliruan sikap. TPG adalah hak para guru profesional yang salahsatu tandanya bersertifikat pendidik. Penerimaan dana TPG sah secara aturan perundangan yang berlaku. Setelah sekian periode kehidupan gur jauh dari kesejahteraan, hadirnya TPG secara umum memang sangat merubah pola hidup para guru dari sisi ekonomi. Secara praktis pragmatis TPG adalah wajib disyukuri karena guru menjadi lebih nyaman dalam melaksanakan tugasnya, tak punya beban berat ekonomi. Seharusnya demikian walaupun fakta di lapangan masalah kehidupan ekonomi guru bisa di kaji lebih detail dengan survei dan penelitian lain lagi.
Kembali ke dinamika diskusi grup WA para guru. Ini adalah fakta, kebanyakan guru sangat bersemangat menyambut notifikasi tambahnya saldo yang masuk rekening. Informasi pencairan TPG setiap periode memang sangat menarik dan selalu di tunggu sepenuh hati. Manakala di dalam grup WA disajikan bahan disksui lain, misalnya ide-ide untuk kemajuan pendidikan, maka semangat grup tidak bergelora. Para guru, secara bersama perlu melakukan refleksi yang mendalam. Sangat perlu bertanya secara sungguh-sungguh kepada hati Nurani masing-masing. Apakah elok jika kita mau menerima dana TPG sementara kinerja kita biasa saja? Apakah kita sudah menjadi guru yang profesional ketika standar layanan kita cenderung rendah? Tidakkah guru perlu meng up grade dirinya untuk terus bertumbuh dan belajar? Bukankah seharusnya setiap guru adalah seorang pembelajar sejati? Dan masih banyak lagi pertanyaan yang bisa dibuat oleh masing-masing individu sebagai pemantik renungan dalam rasa syukur menerima TPG.
Strategi Menghidupkan Literasi di Grup WA Guru
Menumbuhkan dan memupuk benih literasi yang sudah bertebaran dalam ruang digital, bukan hal mustahil. Kenyataan adanya interaksi sosial yang intens dalam ruang digital juga sangat jelas. Grup WA hanya salahsatu diantara sekian banyak jenis ruang digital yang ada saat ini. Kemajuan teknologi mungkin akan terus menambah jumlah aplikasi internet yang interaktif.Sangat disayangkan jika perkembangan teknologi media ini lepas dari jangkauan para guru untuk mengembangkan kompetensi profesionalnya.
Fasilitas teknologi digital setidaknya dapat dijadikan fasilitas unutk meningkatkan minat baca danlevel literasi dalam komunitas yang terpelajar. Guru perlu melakukan hal ini sebagai pioneer kemudian menularkan kepada para siswanya. Beberapa langkah kongkret yang bisa diambil untuk menghidupkan gerakan literasi di dalam grup WA guru antara lain:
1. Sajian info edukasi ringan -audio - visual
Admin grup dapat menyajikan artikel pendidikan dalam bentuk infografis, video pendek, atau audio berdurasi 1-2 menit. Tujuan sajian pendek ini agar inforasi lebih mudah diserap dan menarik untuk dikomentari oleh anggota grup. Perlu juga dipertimbangkan frekuensi sajian informasi pendek jangan terlalu sering. Terlalu sering melihat info grafis dan vidio pendek juga beresiko mengurangi fokus dan konsentrasi.Merusak system berpikir dan memori otak.
2. Rubrik Khusus
Dalam grup WA sekolah dapat dibuat rubrik khusus yang ditangani admin. Misalnya: “Senin Refleksi”, “Kamis Literasi”, atau “Jumat Inspirasi”. Di hari tersebut, satu tulisan dari guru dibagikan untuk didiskusikan. Tema yang ditulis bisa dipilih dari hal yang sederhana dan biasa. Seorang guru boleh menulis tentang pengalaman di kelas minggu ini yang paling menarik. Tulisan dibagikan di grup untuk dibaca dan ditanggapi anggota grup sebagai refleksi.Tanggapan dari peserta diskusi juga bisa menjadi sarana pelatihan menyampaikan pendapat secara tertata dalam bentuk tulisan,
3. Apresiasi dan Partisipasi
Tanggapan positip terhadap tulisan bisa diberikan sebagai apresiasi. Apresiasi yang baik diberikan oleh admin grup atau sesama anggota. Bentuk apresiasi bisa simbolik (seperti ucapan atau badge digital), maupun nyata (misal, berupa uang untuk membeli buku). Anggota grup WA juga dapat berpartisipasi aktif menjadi narasumber sesi diskusi dengan tema yang disepakati komunitas. Tulisan dan tanggapan bisa di sharing di grup WA guru kemudian didokumentasikan secara rapi menurut tema diskusinya. Perlu juga dipikirkan reward dalam bentuk yang lebih menarik anggota grup untuk memotivasi gerakan literasi di sekolah. Misalnya dinobatkan sebagai anggota grup WA paling aktif komentar dan paling aktif diskusi secara berkala.
4. Tulisan Relevan dan Kontekstual
Tulisan relevan adalah tulisan yang mengangkat peristiwa nyata di sekolah. Tulisan seperti ini akan lebih mengundang empati dan menarik untuk bahan diskusi. Gunakan bahasa lugas dan tidak terlalu panjang. Masalah yang kontekstual misalnya tentang ide menyelesaikan masalah sampah, masalah piket kelas yang macet, pojok baca yang tidak aktif, siswa yang terlambat , capaian belajar siswa yang rendah, dan sebagainya. Hindari hal-hal yang bersifat gossip dan opini negatif sehingga diskusi menjadi tidak produktif.
5. Kolaborasi Antar Guru
Guru bisa menulis satu tema bersama, lalu membagikan hasil tulisan ke grup WA. Diskusi dan refleksi hasil karya tulis tim tersebut di bahas dalam grup WA. Tulisan yang dihasilkan bersama oleh satu tim diharapkan lebih punya ketajaman dan kejelasan. Semua anggota tim bekerjasama dalam menuangkan ide dan gagasan sampai menghasilkan tulisan. Kolaborasi akan menghasilkan karya yang baik. Masukan dari anggota grup lain yang bukan anggota tim dapat memperbaiki atau menyempurnakan tulisan baik gagasannya maupun formatnya. Hal penting dari semua itu adalah keberanian untuk memulai dan mencoba menulis. Masalah apa saja bisa di tulis menjadi karya literasi. Genre tulisan bisa disepakati variasinya dari masalah yang sederhana sedang hingga sangat serius tergantung kondisi pertumbuhan pikiran anggota grup.
6. Grup WA Guru menjadi Komunitas Pembelajar
Grup WA guru bukan hanya wadah berbagi informasi, tapi juga berpotensi menjadi komunitas pembelajar. Saat TPG cair, wajar kita bergembira. Tapi jangan sampai kebahagiaan kita hanya berhenti di angka rupiah. Kita perlu bahagia juga saat gagasan pendidikan tumbuh, saat ada diskusi seru tentang metode ajar, saat refleksi dari guru lain menyentuh dan menginspirasi.
Menghidupkan literasi di grup WA guru adalah langkah kecil menuju perubahan besar. Jika grup WA sudah berubah menjadi lebih literer maka kemungkinan bertumbuhnya tradisi membaca dan menulis semakin besar. Sesungguhnya gerakan literasi bukan sekadar kemampuan membaca, tetapi keberanian untuk berpikir, memberi tanggapan dan bertransformasi secara adaptif terhadap perubahan. Komunitas guru dalam dunia nyata maupun dunia maya, lebih khusus grup WA, harus memformat dirinya menjadi komunitas masyarakat belajar (learning society). Guru harus terus belajar dan bertumbuh dalam profesionalisme dan mngarhkan dirimenjadi pribadi yang mampu menumbuhkan inspirasi bagi para siswa, keluarga, lingkungan kerja dan masyarakat. Tugas guru memang berat dan itu resiko pilihan tugas dalam hidup. Guru harus mampu memposisikan diri sebagai agent of change ke arah yang baik diantara dinamika banyaknya perubahan aturan.
Pertanyaan untuk kita bersama, para pelaku dunia pendidikan, para guru pemilik grup WA, kapan kita memulai? Kapan kita berdiskusi persoalan pendidikan di sekolah kita dengan semangat dan gairah sebesar ketika kita merespn informasi pencairan TPG? Jawabnya ada pada nurani dan pikiran masing-masing. Nyumanggakaken.
Referensi:
UNESCO. (2012). Global Literacy Report.
OECD. (2019). PISA 2018 Results.
BPS. (2024). Indeks Tingkat Gemar Membaca Indonesia.
Kemendikbud. (2019). Kajian Kemampuan Literasi Siswa dan Guru.
Faizah, N. dkk. (2016). Studi Minat Baca Siswa dan Peran Guru.
(Trisnatun, M.Pd, Ajibarang 2 Juli 2025