Indonesia, Pohon Jati di Hutan Tropis

Indonesia, Pohon Jati di Hutan Tropis

(Oleh : Trisnatun, M.Pd *)

Delapan puluh tahun adalah usia yang menakjubkan. Tidak muda, tidak pula renta. Usia yang membuat kita bisa menengok jauh ke belakang, lalu memandang tajam ke depan.

Indonesia, negeri dengan tujuh belas ribu pulau, seratusan gunung api, dan garis pantai yang seakan tak berujung, kini memasuki usia 80 tahun merdeka. Jika bangsa ini manusia, ia sudah menjadi seorang sesepuh: rambutnya mungkin mulai memutih, kulitnya keriput, langkahnya tak secepat dulu. Namun dalam keriput itu tersimpan pengalaman, dalam langkah yang pelan itu ada kehati-hatian yang lahir dari luka dan jatuh bangun yang panjang.

Jika bangsa ini pohon, ia adalah pohon jati. Pohon yang tumbuh lambat, tapi selalu tegak, menjulang, dan penuh manfaat. Dari kayu jati lahir ukiran-ukiran yang bukan sekadar indah, tetapi juga mistis dan penuh makna. Dari batangnya lahir kekuatan yang mampu menahan rumah agar tetap berdiri puluhan tahun. Dari akarnya lahir keteguhan: menembus tanah, mencari air, tetap hidup meski kemarau menguliti daun-daunnya.

Daun yang Gugur, Ulah Ulat, dan Tikus Pengerat

Namun seperti jati, negeri ini pun kadang tampak “mengenaskan”. Kita menyaksikan daunnya gugur: harga beras melambung, rakyat miskin berdesakan menunggu giliran sekantong beras murah. Petani justru menjual gabah dengan harga yang bahkan lebih rendah daripada ongkos menanam. Di kota, anak-anak muda dengan gelar sarjana kadang hanya berakhir sebagai pekerja kontrak dengan gaji pas-pasan—bahkan kalah dibanding harga sewa kamar kos.

Ulat dan tikus pengerat pun ada di pucuknya. Korupsi masih merajalela, seolah menjadi ulat rakus yang melahap daun tanpa ampun. Kasus-kasus megakorupsi silih berganti: ada yang tertangkap, ada yang hilang ditelan senyap. Tikus-tikus berdasi tetap berlari di lorong kekuasaan, menggerogoti batang dari dalam.

Lihat pula pendidikan kita. Di satu sisi, jargon “revolusi digital” digembar-gemborkan, sementara di banyak sekolah pelosok, anak-anak masih belajar dengan papan tulis reyot dan kapur yang cepat habis. Akses internet tak merata, gawai masih menjadi barang mewah. Ironis, bukan? Seakan bangsa ini ingin berlari ke masa depan, padahal banyak anaknya masih bertelanjang kaki di jalan berlumpur.

Di laut, nelayan melaut tanpa kepastian cuaca, pulang dengan hasil tangkapan yang kalah nilainya dibandingkan solar yang dibakar. Laut kita kaya, tetapi banyak kapal asing masih leluasa mencuri ikan.

Getir? Sangat. Tapi bukankah pohon jati pun mengalami hal yang sama? Daunnya digerogoti ulat, batangnya kadang diserang bubuk kayu. Namun justru karena itulah ia mengeraskan diri, memperkuat kayu, menebalkan serat. Sakit itu bukan akhir, melainkan cara alam menguji kekuatan.

Sakit Itu Melahirkan

Bangsa ini sedang sakit, iya. Tapi sakit itu bukan sia-sia.

Seperti seorang ibu yang berdarah-darah di ruang bersalin, rasa sakit adalah bagian dari proses kelahiran. Tak ada bayi yang lahir tanpa tangis, tanpa darah, tanpa rasa sakit yang nyaris mematahkan tulang. Tapi justru dari sakit itulah lahir kehidupan baru yang dinanti.

Hari ini, rakyat menahan nyeri harga pangan, menahan pedih kesenjangan sosial, menahan getir ketidakadilan. Tapi nyeri itu adalah kontraksi. Sakit itu adalah tanda tubuh bangsa masih hidup, masih bergerak, masih mempersiapkan kelahiran generasi baru yang lebih tangguh.

Sakit adalah pupuk. Daun yang kering, setelah jatuh, berubah menjadi humus yang menyuburkan tanah. Korupsi yang terbongkar, krisis yang membuat rakyat belajar berhemat, bencana yang memaksa kita bergotong-royong—semua itu, jika diolah, akan menjadi nutrisi. Pahit, memang. Tapi tanah yang pernah menelan pahit akan menumbuhkan manis.

Akar yang Menjadi Penyelamat

Indonesia bisa tetap tegak bukan karena pucuknya indah, tetapi karena akarnya kuat.

Akar itu adalah rakyat kecil. Mereka yang setiap Agustus tetap merayakan kemerdekaan dengan cara sederhana: lomba balap karung di halaman rumah, panjat pinang dengan hadiah sekadarnya, doa syukur di mushola desa, karnaval anak-anak dengan kostum dari kertas karton bekas. Dari akar itulah semangat terus hidup, meski anggaran negara minim, meski kebijakan kadang tak berpihak.

Akar tidak pernah terlihat, tapi merekalah yang menyangga. Begitu pula rakyat. Mereka jarang masuk berita, tapi merekalah yang membuat negeri ini tetap bernama Indonesia.

Semakin Tua, Semakin Bernilai

Ada satu hal yang perlu kita ingat: semakin tua jati, semakin keras kayunya, semakin tinggi nilainya.

Demikian juga Indonesia. Delapan puluh tahun bukanlah tanda rapuh, melainkan tanda matang. Negeri ini sudah melewati agresi militer, kudeta politik, krisis moneter, reformasi berdarah, bencana alam bertubi-tubi, hingga pandemi global. Tapi ia tetap berdiri. Tidak roboh.

Itulah kualitas kayu kita. Semakin lama ditekan, semakin keras ia membalas. Semakin sering diterpa badai, semakin tebal ia menahan.

Dan di bawah tegakan pohon tua yang tampak rusak, benih-benih baru sudah menyiapkan diri. Generasi muda dengan kecerdasan digital, keberanian bicara, dan kepekaan sosial sedang tumbuh. Mereka adalah tunas-tunas yang kelak menggantikan daun tua. Mereka adalah suksesi ekologi bangsa yang tak bisa dibendung.

Indonesia Tetap Lahir Kembali

Indonesia adalah pohon jati yang berdarah demi melahirkan tunas baru. Ia mungkin terlihat letih, mungkin tampak penuh luka. Tapi darah itu adalah darah kelahiran, bukan kematian.

Dan seperti setiap ibu yang melahirkan, setelah tangis pertama bayi terdengar, rasa sakit akan berganti haru. Luka akan berganti bahagia. Darah akan berganti kehidupan.

Maka meski getir masih terasa di lidah, keyakinan tetap tumbuh di dada: Indonesia bukan sekadar ada, tetapi selalu lahir kembali.

Delapan puluh tahun merdeka adalah bukti bahwa pohon ini tidak roboh. Daunnya boleh rontok, batangnya boleh digerogoti ulat, tetapi akar dan kayunya tetap berdiri. Dan selama itu ada, selalu akan lahir musim baru, selalu akan lahir harapan baru.

Indonesia memang bukan negeri sempurna. Tapi ia tetap penggalan surga yang dititipkan di bumi. Sebuah pohon jati raksasa yang akan terus berdiri, melewati musim, berdarah, dan melahirkan kehidupan baru.
Ajibarang, 19 Agustus 2025

*) Ks SMP N 1 Cilongok

Related Posts

Komentar