
Dari Kampung untuk Indonesia: Revolusi Sunyi SMPN 1 Tambak Lewat Kekuatan Komunitas
SMP Negeri 1 Tambak berdiri tenang di wilayah yang tak begitu tersorot peta pendidikan nasional—sebuah kawasan semi-perkotaan dengan nuansa pedesaan yang kental. Letaknya jauh dari hiruk pikuk kota besar, tak ada pusat perbelanjaan megah atau gedung pencakar langit di sekelilingnya. Namun justru dari ketenangan itulah muncul energi perubahan yang tak terduga. Sekolah ini membuktikan bahwa transformasi besar tidak harus lahir dari pusat kekuasaan atau proyek raksasa. Di balik keterbatasan, tersimpan potensi lokal yang jika digali dengan sungguh-sungguh, bisa menjadi bara semangat yang menyala terang.
Dalam bayang-bayang anggapan umum bahwa sekolah di daerah pinggiran sulit maju karena minim fasilitas, jaringan internet lamban, dan dukungan masyarakat seadanya, SMPN 1 Tambak memilih jalur berbeda. Alih-alih meratapi kekurangan, sekolah ini memilih untuk bergerak. Bukan dengan modal besar atau program hibah instan, tetapi dengan memaksimalkan apa yang telah mereka miliki. Dari sinilah pendekatan Asset-Based Community Development (ABCD) menjadi napas baru yang membentuk wajah pendidikan di sekolah ini.
ABCD bukan sekadar metode, tapi cara berpikir yang membalik paradigma lama. Jika sebelumnya sekolah lebih sering fokus pada daftar kekurangan—apa yang belum dimiliki, apa yang kurang layak, siapa yang belum mampu—maka ABCD mengajak untuk bertanya sebaliknya: “Apa yang kita punya?” Di SMPN 1 Tambak, pertanyaan ini menjadi kunci. Guru yang mahir membuat konten pembelajaran, siswa yang jago editing video, orang tua yang punya usaha servis komputer, hingga alumni yang bekerja di bidang teknologi, semuanya dipetakan sebagai aset. Mereka bukan beban, tapi bagian dari solusi. Ini bukan tentang menunggu uluran tangan, tapi tentang menggali dari dalam, menyusun mozaik kekuatan yang selama ini tersembunyi.
Pendekatan ini membuat sekolah tak lagi bergantung pada program dari atas. Dengan semangat gotong royong, guru belajar dari sesama guru, bukan dari pelatihan yang kaku. Tokoh masyarakat dan orang tua hadir bukan sekadar sebagai tamu undangan, tapi sebagai rekan sevisi. Alumni tak hanya dikenang dalam foto, tapi diajak pulang untuk ikut menyusun masa depan. Dalam ruang-ruang belajar, atmosfer pun berubah. Tidak lagi sekadar tempat transfer ilmu, tetapi jadi ruang kolaborasi yang hidup.
Langkah awal yang dilakukan SMPN 1 Tambak adalah menyusun peta aset lokal. Kepala sekolah bersama tim menyusun daftar kemampuan dan potensi yang dimiliki oleh semua pihak yang terhubung dengan sekolah—guru, siswa, orang tua, alumni, hingga lingkungan sekitar. Potensi itu bisa dalam bentuk keahlian, jaringan, waktu luang, atau bahkan semangat berkontribusi. Dari sinilah benih perubahan mulai tumbuh.
Dampak paling mencolok dari pendekatan ini adalah percepatan digitalisasi sekolah. Dalam dua tahun terakhir, SMPN 1 Tambak mengalami lonjakan signifikan dalam adopsi teknologi. Dulu, penggunaan teknologi terbatas pada presentasi PowerPoint dan perangkat yang sering ngadat. Kini, sekolah telah memiliki kelas digital berbasis platform open source, menerapkan pembelajaran hybrid, serta mengelola administrasi akademik secara daring. Yang mengesankan, semua ini bukan hasil proyek kementerian atau bantuan dari luar negeri, tetapi hasil kolaborasi warga sekolah dan komunitas sekitar. Guru yang jago desain membuat modul digital. Orang tua membantu memperbaiki perangkat. Alumni menyumbangkan akses aplikasi dan pelatihan.
Proses ini tentu tak selalu mulus. Di awal, ada keraguan. Beberapa guru merasa canggung dengan teknologi. Sebagian orang tua khawatir, apakah anak-anaknya akan terganggu atau malah tersesat di dunia digital. Tapi tantangan itu tidak dijawab dengan paksaan, melainkan dengan pendekatan yang empatik dan partisipatif. Pelatihan dilakukan dalam suasana belajar bersama. Tidak ada guru dan peserta, semua belajar satu sama lain. Diskusi ringan, forum ide, hingga lomba inovasi menjadi cara yang menyenangkan untuk membentuk budaya baru. Budaya saling dukung, bukan saling tuntut. Di sinilah komunitas belajar sekolah menjadi oase yang menyegarkan, menyambungkan titik-titik semangat dari berbagai pihak yang sebelumnya terasa berjauhan.
Yang membuat transformasi di SMPN 1 Tambak begitu kuat adalah fondasi kepercayaannya. Setiap orang merasa punya andil. Guru, siswa, tukang kebun, penjaga sekolah, semua dihargai perannya. Perubahan bukan milik satu-dua orang, tapi hasil gerak bersama. Inilah yang membuatnya bertahan dan berkembang. Tidak ada yang terlalu kecil untuk memberi kontribusi. Bahkan aksi sederhana, seperti membantu menghubungkan jaringan atau membimbing teman dalam membuat akun pembelajaran, dianggap berarti. Ini bukan revolusi dengan gemuruh, tetapi revolusi sunyi—mengalir dari hati ke hati, dari keyakinan bahwa setiap individu punya potensi.
Model transformasi ini menjadikan SMPN 1 Tambak sebagai cermin bahwa sekolah bisa menjadi pusat perubahan sosial, meski letaknya jauh dari pusat pemerintahan atau kota besar. Pendidikan berkualitas bisa lahir dari keberanian melihat potensi, bukan hanya mengeluh pada keterbatasan. Semangat gotong royong dan keberanian untuk berubah justru bisa tumbuh subur di tempat yang selama ini tak diperhitungkan. Tambak mengajarkan bahwa perubahan tak butuh panggung besar, tapi butuh keyakinan yang kokoh dan kolaborasi yang tulus.
Pesan paling kuat dari kisah ini adalah: siapa pun bisa berubah. Sekolah mana pun, di pelosok mana pun, punya kesempatan yang sama untuk maju. Tak perlu menunggu dana besar, cukup mulai dari percaya pada kekuatan sendiri. Perubahan sejati dimulai dari keberanian melihat ke dalam, bukan ke luar. Dari semangat untuk berbuat bersama, bukan saling menunggu.
Refleksi dari Tambak adalah pelajaran untuk kita semua. Bahwa membangun sekolah unggul bukan semata soal kurikulum baru atau gedung megah, tapi tentang bagaimana komunitas di dalamnya saling percaya, saling dukung, dan berani mencoba. Pendidikan bukan sekadar proses transfer pengetahuan, tapi proses membentuk karakter dan membangun masa depan bersama.
Semoga kisah SMPN 1 Tambak menjadi inspirasi bagi sekolah-sekolah lain di seluruh penjuru negeri. Bahwa sebagaimana api bisa menyala dari percikan kecil, perubahan besar bisa dimulai dari komunitas kecil yang percaya pada kekuatannya sendiri. Tambak mungkin hanya titik kecil di peta, tapi telah menjadi cahaya terang yang menuntun arah bagi banyak sekolah yang sedang mencari jalan menuju masa depan yang lebih baik.
Penulis:Sad Diana Puji Hartono, S.Pd., M.Si. Kepala SMP Negeri 1 Tambak, Banyumas