"Menjadi Guru Wali, Menjadi Wali Guru"

"Menjadi Guru Wali, Menjadi Wali Guru"

(*Oleh: Seorang Kepala Sekolah yang Tak Tuntas Belajar Diam*)

Ada hari-hari ketika grup WhatsApp kami lebih ramai dari ruang guru. Ada pagi-pagi ketika kami—para kepala sekolah—lebih banyak berbicara tentang kode validasi Dapodik daripada bicara tentang murid-murid kami. Ada siang ketika kekhawatiran kami bukan pada nilai karakter anak-anak, tapi pada nilai jam mengajar yang tak kunjung sahih di InfoGTK.

Begitulah dunia pendidikan sekarang: kau tak cukup menjadi pendidik, kau harus pula menjadi ahli administrasi digital yang tangkas, cermat, dan tidak kepunthal-punthal. Kalau tidak, ya... siap-siap ditertawakan sistem. Kau mengajar dengan sepenuh hati, tapi tetap dianggap tidak sah. Karena di kolom tugas tambahan belum tertulis kau menjadi guru wali.

Ya, begitulah. Guru wali—dua kata sederhana yang sekarang menjadi kata sakti. Bila tak tertera di Dapodik, maka statusmu sebagai guru seolah belum cukup suci untuk mendapat restu dari InfoGTK.

Kami bertanya-tanya: Apakah menjadi guru wali adalah bagian dari cinta pada anak-anak, atau hanya sekadar kode yang harus dicentang? Apakah tugas mendidik hanya akan dihitung ketika sudah memenuhi 12 TTM + 12 TTU, atau 18 TTM + 6 TTLE? Siapa yang memutuskan valid tidaknya niat suci kami mengajar?

Saya pernah bertanya, dengan blaka suta dan sedikit bingung. “Mengapa semua guru harus jadi wali?” Jawabannya enteng: “Ya biar valid.” Seolah-olah yang tidak jadi wali, cintanya pada siswa tidak valid. Yang tidak terdata, tidak berarti. Padahal banyak guru yang mengayomi murid seperti orang tua, meski tak pernah dituliskan sebagai wali.

> "Pendidikan bukan soal transfer ilmu. Pendidikan adalah pembebasan manusia dari kebodohan dan penghambaan, termasuk dari sistem yang membuat manusia kehilangan makna."
— Emha Ainun Nadjib

Di forum diskusi, kami saling menguatkan. Kami menunggu kepastian, walau tahu kepastian dalam dunia birokrasi adalah mitos yang indah namun langka. “InsyaAllah nanti ada petunjuk teknis,” kata seorang kawan. “Belum ada regulasi tertulis, tapi katanya begitu.” Dalam dunia pendidikan kita, banyak keputusan yang berangkat dari katanya.

Seseorang pernah menulis di grup: “Kalau tidak jadi wali, InfoGTK tidak valid.” Saya ingin menambahkan: Kalau tidak saling menyapa, sistem pendidikan kita juga tidak valid. Kalau tidak saling menjaga akal sehat, yang valid cuma kekacauan.

Lalu ada yang mengeluh, “Saya trauma share info, takut dianggap mendahului dinas.” Ya, saya paham. Dalam sistem kita, niat baik bisa disalahpahami, kecepatan bisa dituduh kelancangan. Maka banyak yang memilih diam, karena bicara dianggap gaduh. Tapi, adakah pendidikan bisa tumbuh dalam kebungkaman?

Saya tahu, yang kami lakukan tiap hari bukan hanya mengurus jam mengajar dan mencentang kolom di Dapodik. Kami ini bukan operator, bukan hanya KS—kami juga manusia yang sedang bingung, ragu, tapi tidak bisa berhenti mencintai profesi ini. Maka kadang kami melawak di grup. Bercanda tentang kopi, jenggot, kupluk, atau bahkan soal rombongan plesir yang berubah dari BIS menjadi KKA—entah apa itu. Mungkin itu satu-satunya cara kami tetap waras di tengah kepungan data dan deadline.

> "Jangan kau ajari anak-anakmu untuk menjadi pandai, ajarilah mereka untuk menjadi manusia."
— Emha Ainun Nadjib

Kawan, para kepala sekolah, para guru: kita memang sedang menjalani pendidikan dalam bentuk lain—bukan tentang murid, tapi tentang sistem. Kita sedang belajar menjadi wali—bukan hanya untuk siswa, tapi untuk akal sehat dan martabat kita sendiri sebagai pendidik.

Dan entah kenapa saya merasa, di balik semua validasi itu, yang sebenarnya paling penting adalah:
Apakah kita masih ingin terus belajar, saling menyapa, dan tak kehilangan hati dalam profesi ini?

Jika iya, maka valid-lah keberadaan kita.

> "Kadang yang lebih kita butuhkan bukan jawaban, tapi ketulusan untuk saling mendengarkan."
— KH. Mustofa Bisri (Gus Mus)

> "Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri. Di zaman yang serba tidak jelas ini, tetap waras saja sudah sangat istimewa."
— Gus Mus

Terimakasih jika berkenan membaca sampai tuntas.
Saya berdoa semoga semua manusia yang berpikir berhahagia, bermakna dan bertumbuh.
Padepokan Jaka Tingkir, 27 Juli 2025

*)
Trisnatun Abuyafi Ranaatmaja, hari ini (masih) Kepala Sekolah SMP N 1 Cilongok

Related Posts

Komentar