Memahami Intoleransi dan Usaha Menanggulanginya
Oleh: Andjar Widjianingsih, S.Pd
Setelah saya mencermati dan mempelajari tentang konsep intoleransi pada Platform Merdeka Mengajar pada topik Dosa Pendidikan Intoleransi. Saya menonton video mengenai topik tersebut dan berikut catatan saya.
Selama ini sebagian besar dari kita, memahami intoleransi hanya sebatas pada sesuatu yang berhubungan dengan agama. Seperti toleransi dalam beribadah, toleransi dalam mengormati ajaran agama lain, dan sebagainya. Namun setelah mempelajari materi intoleransi pada PMM, ternyata pemahaman intoleransi itu sangat luas, tidak terbatas pada toleransi dalam beragama saja.
MEMBANGUN JEMBATAN KERAGAMAN 1
Saat jadi murid baru, budi belum kenal dengan siapa-siapa, namun Budi penasaran dan mencoba membandingkan orang- orang di sana. Budi mengamati orang-orang disana ternyata berbeda-beda. Ada siswa yang mengobrol dengan bahasa daerahnya, ada yang sedang mengadakan kegiatan paduan suara, bermain sepak bola, latihan marching band. Ternyata sedang ada kegiatan ekstrakurikuler sesuai dengan pilihan siswa. Kemudian Budi berkeliling di kelas, ia melihat ada murid yang sedang mengerjakan tugas, ada yang mengerjakan sendiri maupun secara bersama. Semakin Budi berkeliling semakin banyak menemukan identitas yang berbeda-beda. Setidaknya Budi menemukan bahwa identitas didapatkan karena 3 hal, yaitu:
- Identitas yang ada sejak lahir, seperti nama, jenis kelamin, suku, warna kulit dan sebagainya
- Identitas yang diberikan orang lain atau lingkungan sekitarnya, seperti sebutan siswa, seniman, guru dan sebagainya.
- Identitas yang diberikan diri sendiri, seperti seseorang yang menyebut dirinya cat lover karena ia penyuka kucing, desainer karena suka mendesain konten atau yang lainnya.
Seseorang bisa mempunyai identitas diri lebih dari satu sebutan. Karena perbedaan identitas kita perlu memandang identitas kita dengan identitas orang lain secara berimbang dan adil.
Perbedaan identitas itu wajar, kita harus pintar dan bijak dalam melihat keberagaman identitas jangan sampai karena beda identitas kita jadi bertengkar atau bermusuhan, karena perbedaan itulah menjadikan kita bisa menguatkan satu sama lain seperti layaknya semboyan negara kita Bhineka Tunggal Ika, meski berbeda-beda tetapi tetap satu.
Jika kita lihat baik-baik, walau berbeda pada satu identitas namun pada identitas yang lain kita mempunyai kesamaan. Sebagai contoh, ada identitas suku yang berbeda-beda, namun ada kesamaan identitas sebagai warga negara Indonesia.
Yang kita pikirkan bagaimana dengan berbagai perbedaan yang ada bisa menjadi suatu kekuatan. Mari kita identifikasi perbedaan yang ada di sekitar kita untuk merubah keragaman tersebut menjadi kekuatan.
MEMBANGUN JEMBATAN KERAGAMAN 2
Di Sekolah Bineka ada berbagai macam club, mulai dari club olahraga samapi pada club pembuat konten. Shinta semakin bersemangat untuk mencari club yang sesuai dengan bakatnya supaya ketrampilannya semakin berkembang. Shinta suka bersepeda jadi ia mencari informasi mengenai club sepeda yang ada di sekolahnya. Shinta memulai menggali informasi dengan menanyakan persyaratan jika akan masuk club tersebut. Ternyata setelah memperoleh informasi, anak yang bisa masuk club bersepeda di sekolah itu hanya anak yang mempunyai sepeda merk tertentu. Selain itu jika bergabung dengan club itu harus bisa bersaing dengan club sekolah lainnya. Shinta tidak jadi masuk ke club tersebut, ia mencari club lain yang mempunyai semangat yang saling mendukung. Kemudian shinta masuk ke club menggambar, supaya keahlian dalam menggambar semakin lancar.
Suasana club seni cukup seru, semua opini pun didengar. Untuk masuk club seni ia tidak keberatan bila harus bayar. Tapi sayang, untuk masuk club gambar ia harus corat coret pagar, harus pake seragam club kemana-mana supaya aura club terpancar. Mendengar itu Shinta jadi gentar, lagi-lagi ia harus mencari club yang lebih sesuai. Pilihan ketiga adalah club catur, anggota-anggotanya asyik dan akur. Shinta mengajak Asih untuk bergabung, namun Asih harus mundur, karena dari dulu club tersebut tidak menerima anggota disabilitas. Itu sudah menjadi kultur di club catur sekolah Bineka. Lagi-lagi Shinta tidak bisa mencari club yang cocok.
Dari pengalaman Shinta dapat diambil kesimpulan bahwa kelompok ekslusif memiliki 3 ciri:
- Tidak mengijinkan orang lain masuk atau tidak mau orang lain bergabung seperti cerita club sepeda di atas, yang boleh bergabung hanya anak-anak yang mempunyai jenis sepeda yang sama, jika tidak akan dihina oleh club tersebut. Kalau kelas inklusif bisa menerima semua perbedaan tanpa memandang apapun.
- Terlalu banyak menghabiskan waktu bersama dengan kelompoknya, kadang ada juga disekolah kemana-mana dengan teman yang itu-itu saja. Saat orang-orang ini dipisah akan marah. Hal ini mungkin kelihatan sederhana, namun jika dibiarkan akan semakin parah. Karena menganggap kelompoknya lebih utama daripada yang lainnya. Sangat mungkin mereka melakukan apapun agar bisa diterima.
- Orang lain merasa dilukai ketika dengan sengaja disisihkan , menguatkan ciri-ciri sebelumnya jelas hal ini bukan karakteristik dari kelompok yang sehat. Ketika ada yang sengaja disakiti, itu ada indikasi bahwa kelompok tersebut harus diperbaiki.
5 Bahaya dampak kelompok ekslusif:
- Peserta didik jadi merasa sok jago, akibatnya peserta didik cenderung berbuat semaunya dan melanggar aturan yang ada. Ini terjadi karena peserta didik merasa punya orang-orang yang disegani untuk mendukungnya.
- Karena ingin diterima sebagai anggota, peserta didik tergoda untuk mengikuti kegiatan-kegiatan mereka meskipun tidak cocok dengan hati nuraninya.misalnya melakukan perundungan atau pelecehan bahkan sampai memusuhi orangorang di luar kelompoknya.
- Peserta didik akan memperoleh reputasi buruk, termasuk membangun hubungan dengan teman-teman yang lain yang berjuang untuk hidup sehat.
- Peserta didik menyingkirkan dan meninggalkan teman-teman yang tidak termasuk dalam kelompoknya atau yang menjadi ke;ompok yang lain.
- Peserta didik mengira akan mendapatkan kebebasan dengan masuk kelompok ekslusif, sebenarnya ia diperdaya bahkan diatur oleh kelompoknya sehingga ia kehilangan jati diri dan kebebasannya.
Adanya kelompok ekslusif tentu memunculkan pandangan mengenai inferior dan superior. Ternyata dua pandangan tersebut punya dampak yang menyeramkan. Pada kelompok Inferior (jika aku bukan bagian dari mereka), murid cenderung tumbuh dengan perasaan rendah diri, tidak mampu, performa akademik yang buruk, dan menjadi target diskriminasi. Dan pada kelompok superior ( jika aku bagian dari mereka), murid cenderung tumbuh menjadi anak yang merasa paling benar dan harus diistimewakan, intoleran, serta kurang empati.
Setelah mengetahui bahaya dari kelompok eksklusif sebaiknya peserta didik menghindari dan masuklah pada kelompok yang inklusif dimana pada kelompok itu membolehkan siapapun masuk, untuk terlibat dan berkolaborasi menebar manfaat.
Keuntungan jika peserta didik masuk kelompok inklusif:
- Mengasah jiwa kepemimpinan dalam setting keberagaman
- Mengembangkan kemampuan empati dan menolong orang lain dengan lebih cepat
- Mengembangkan sikap positif terhadap perbedaan
Setelah memahami adanya kelompok eklusif dan inklusif, kira-kira sekolah kita masuk karakteristik yang mana yaa?
Cilongok, 6 Maret 2023