Refleksi Kegiatan Pelatihan Mandiri PMM
Tingkat literasi kita rendah, menurut informasi dan laporan penelitian atau survei yang sudah dikenal luas. Bahkan tingkat literasi di dunia pendidik pun terbukti sangat rendah. Salah satu buktinya, isu Platform Merdeka Mengajar (PMM) sebagai bahan bacaan wajib bagi guru ternyata juga kurang diminati. Padahal PMM bukan hanya bacaan dalam bentuk tulisan. Informasi bagi guru di PMM juga dalam bentuk video, sumber informasi audio visual.
Sangat terasa bahwa membaca adalah kegiatan yg sangat sulit dilakukan, bahkan oleh para guru, Kepala Sekolah dan tenaga kependidikan. Mungkin karena tradisi bertutur dan ngobrol masih lebih dominan dalam komunitas masyarakat kita.
Platform Merdeka Mengajar (PMM) yang disediakan oleh Kementrian Pendidikan sebagai sarana penyebaran informasi dan sumber belajar Implementasi Kurikulum Merdeka, bisa dipastikan belum berjalan sesuai harapan. Pelatihan Mandiri yang seharusnya diikuti oleh Kepala Sekolah dan guru untuk memahami Implementasi Kurikulum Merdeka, kenyataannya jauh panggang dari api. Jumlah pendidik yang login di PMM pun masih belum optimal.
Ide-ide dasar Kurikulum Merdeka, terkait perubahan pola teacher center ke pola student center, dengan kajian teori yang komprehensif dan seharusnya menarik, ditanggapi secara apriori oleh para guru sebagai praktisi Kurikulum Merdeka di lapangan.
Penekanan prioritas pada fasilitasi siswa untuk meningkatkan kemampuan literasi dan numerasi semakin melenceng dari harapan. Kejadian di lapangan sangat jauh berbeda dengan harapan. Indikator tingkat literasi dan numerasi para siswa dan pendidik serta warga sekolah dalam rapor pendidikan masih banyak yang rendah. Masih berada di area merah atau kuning, sangat jarang yang sudah hijau.
Sangat diharapkan kebijakan tentang Kurikulum Merdeka ini tidak dirubah lagi, tinggal dilanjutkan dan serius dilaksanakan. Jika mencermati dan mengikuti Platform Merdeka Mengajar, sesungguhnya sangat ideal oleh karenanya sangat perlu dukungan dari pengambil kebijakan untuk memantau bahkan menginstruksikan dan "memaksa" semua pelaku pendidikan untuk belajar bersama.
Kebijakan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Banyumas yang membuat tag line, apapun kegiatannya, jangan lupa PMMnya, adalah salah satu contoh kebijakan yang memotivasi guru untuk aktif belajar di Platform Merdeka Mengajar.
Kendati di Kabupaten Banyumas sudah diluncurkan kebijakan tersebut, kenyataan yang terjadi belum sepenuhnya terwujud. Memang ada peningkatan kuantitas guru yang mengakses PMM, namun kualitas belajarnya masih sangat bervariasi. Terbukti misalnya tafsir terhadap dimensi Profil Pelajar Pancasila juga masih sangat beragam.
Harapan bahwa guru dan pihak sekolah akan aktif mempelajari Implementasi Kurikulum Merdeka, ternyata belum secara nyata mewujud. Setidaknya itu yang saya lihat, alami dan rasakan secara pribadi bersama rekan-rekan guru di sekolah.
Alasan dan hambatan untuk belajar IKM dan mengikuti Pelatihan Mandiri dari PMM sangat bervariasi dan seolah-olah rasional.
Ada yang skeptis dan enggan melakukan karena menilik kebijakan kurikulum yang lalu, yang selalu terlalu cepat berubah. Meskipun perubahan kurikulum itu tuntutan perubahan jaman, ada saja keraguan dan sikap apriori.
"Ah, paling besok, tahun depan, ganti menteri ya ganti kurikulum"
"Kurikulum ini belum paham, sudah ganti lagi."
Dua contoh kalimat yang sering terucap diantara obrolan para guru. Memang benar, kebijakan perubahan kurikulum yang lalu, dimana sosialisasi dan pola informasinya terstruktur melalui pelatihan tatap muka pun tidak sepenuhnya terserap. Pelaksanaan kurikulum 2013 (KTSP) pun masih perlu pembenahan di sana-sini. Baru mulai memahami sudah berubah lagi.
Apalagi kini, IKM yang model pelatihannya harus aktif dan mandiri, sesekali zoom, nonton video, baca teori, melakukan aksi nyata. Hal-hal teknis yang belum dipahami, terasa semakin membingungkan para guru. Kenyataan di lapangan tidak semua guru siap dengan perubahan dan up to date terhadap perkembangan teknologi.
Para guru dan kepala sekolah penggerak, yang rekrutmennya diseleksi secara online, tidak didapati di semua sekolah. Jumlah guru dan kepala sekolah penggerak masih sedikit. Perbandingan jumlah guru penggerak dengan seluruh guru non penggerak sangat tidak seimbang.
Sebagai sebuah program perubahan pendidikan, di negara seluas Indonesia Raya, entah kapan pemahaman IKM akan merata dan dipahami oleh para pelaku pendidikan di sekolah.
Andaikan semua orang yang termasuk dan terlibat dalam jalur perubahan itu, bersama-sama belajar, mungkin efeknya nyata dan bagus. Persoalannya berapa % orang yang mau dan ingin belajar informasi yang baru secara mandiri? Banyak yang menafsiri semaunya tanpa mencoba memahami sumber teorinya, dan pembiasan pun terjadi, bayangannya bengkok meskipun aslinya lurus.
Masih banyak pihak yang terlibat dalam dunia pendidikan, para stakeholder yang kurang peduli. Keengganan mencermati IKM melalui pola pelatihan mandiri terlihat nyata. Masih banyak pihak yang apatis lebih memilih dolan dan ora perduli, dengan tetap tinggal di zona nyaman, dan sangat yakin bahwa perubahan kurikulum tidak perlu di tanggapi secara serius. Toh besok bubar dan ganti juga.
Pemikiran tidak produktif dan tidak baik ini harus dibersihkan bahkan dikikis habis dari atmosfer sekolah dan dunia pendidikan. Harus ada optimisme dan keterbukaan untuk menerima serta beradaptasi terhadap perubahan. Implementasi Kurikulum Merdeka adalah program yang baik bagi anak didik dan para pendidik secara keseluruhan.
Saya tertarik dengan salah satu topik pelatihan mandiri di PMM yaitu Refleksi Diri.
Dalam proses refleksi itu, saya kembali mengingat kegiatan yang pernah saya lakukan, saat saya magang sebagai calon KS (kegiatan on the job learning) sekian tahun lalu. Saat itu belum ada informasi tentang Kurikulum Merdeka.
Suatu saat, di Sabtu siang bersama rekan-rekan guru di SMP N 2 Gumelar, membedah dan mendiskusikan Lesson Plan untuk anak-anak, mendesain skenario pembelajaran seperti yang di sarankan oleh Munif Chatib (almarhum) dalam buku Gurunya Manusia.
Saat itu saya berani berharap, kegiatan itu menjadi sesuatu yang bermakna walau hanya sebuah aksi kecil di antara sekian banyak persoalan besar pendidikan di negeri ini. Saat itu saya juga berharap bahwa hal yang kecil itu, bukan sekadar sebuah pemenuhan tugas, namun menjadi suatu manfaat besar bagi diri sendiri, rekan guru dan sekolah. Saya sangat mendambakan terbentuknya learning community dan learning society di sekolah.
Saya meyakini bahwa sebuah perjalanan panjang harus dimulai dengan ayunan langkah kaki pertama yang pendek?
Dan hari itu, Sabtu siang itu, setelah bedah buku, kegiatan belajar (workshop) dilanjutkan dengan modelling pelaksanaan lesson study. Saya menghadirkan seorang sahabat sebagai guru model untuk melakukan kegiatan pembelajaran yang bermakna.
Guru model yang saya undang itu, Pak Suhriyanto, yang sekarang menjadi Kepala Sekolah SMP N 8 Purwokerto, Ketua MKKS SMP Kabupaten Banyumas. Saya dan rekan guru SMP N 2 Gumelar yang lain mengamati kegiatan belajar yang dilakukan guru model, dengan pola lesson study.
Saat itu, setelah kegiatan selesai saya menulis sebuah catatan refleksi kegiatan. Saya menulis sebagai seorang guru dan muslim sebagai berikut:
Bukan kali yang pertama kita para guru, berputar, berkeliling bersama mengitari titik orientasi yang berjudul rumah pendidikan.
"Semoga kegiatan kecil ini dapat menjadi refleksi bagi keharusan hidup berputar, berkeliling mengitari Ka’bah sebagai lambang titik orientasi Illahiah dalam menjalani hidup. Lari-lari kecil kami dari rumah ke sekolah dan dari sekolah ke rumah semoga juga menjadi refleksi sederhana dari ritual Sa'i diantara bukit Shafa dan Marwah. Sebelum waktu kami habis dan segalanya harus terputus tanpa dapat disambung lagi seperti rambut yang terpotong saat tahalul. Sungguh, jika gunting azal telah tiba, segalanya akan putus kecuali beberapa hal saja, amal baik, anak sholeh dan shodaqoh serta ilmu yang bermanfaat.”
Merenungkan hal ini, maka betapa sesungguhnya semua guru selalu ada di jalan yang diridhoi Tuhan jika semua aktivitasnya dilakukan dengan baik dan benar. Peluang memiliki anak sholeh terbentang luas bagi para guru jika para peserta siswanya direngkuh sebagaimana anak sendiri dan bertumbuh menjadi orang-orang sholeh. Ilmu yang sedikit dititipkan Allah kepada guru, jika bermanfaat dalam hidup siswanya akan terus menjadi ladang bertumbuhnya pahala yang tak pernah putus. Maka, surgalah satu-satunya tempat yang pantas untuk kembalinya para guru. Tentu saja yang ikhlas dan rela menjalani pilihan hidupnya menjadi guru.
Catatan lama itu saya buka lagi hari ini dan saya tulis ulang. Saya berharap ada manfaat yang bisa dipetik dan menguatkan semangat untuk terus belajar. Ternyata, refleksi memang penting dilakukan guru. Refleksi dari kegiatan yang sudah lewat waktu pun, terasa masih ada relevansinya dengan kondisi hari ini.
Jaman terus berubah. Setiap saat akan selalu ada perubahan. Perubahan adalah sebuah keniscayaan yang tak bisa dihindari. Guru selaku pendidik, pengajar sekaligus pemelajar harus terus berusaha agar adaptif terhadap perubahan. Tentu juga dengan kesadaran penuh bahwa menjadi guru adalah pilihan dan jalan hidup, bukan sekadar profesi yang berorientasi duniawi. Wallahu'alam.
Penulis : Trisnatun, M.Pd.
Padepokan Jaka Tingkir, 2 Maret 2023